suarapena.id – Omed‑omedan adalah tradisi unik dari Banjar Kaja Sesetan, Denpasar, Bali, dirayakan sehari setelah Nyepi atau Ngembak Geni, sebagai bagian dari penyambutan tahun baru Saka. Nama “omed‑omedan” berasal dari bahasa Bali yang berarti tarik‑tarikan, namun lambat laun berkembang menjadi ritual saling cium antara muda‑mudi yang belum menikah.
Prosesi dimulai dengan doa bersama, diikuti oleh penyiraman tirta dan mantera yang dipimpin oleh prajuru banjar atau jero pemangku. Setelah itu, puluhan pemuda dan pemudi diundang untuk naik ke atas panggung kecil, saling tarik dan dorong dengan riang gembira—sembari sesekali berciuman—dalam semangat persahabatan dan solidaritas. Meski sempat dilarang pemerintah kolonial dan pernah mendapat teguran karena dianggap tidak sopan, tradisi ini terus hidup dan diperbaharui oleh masyarakat setempat.
Secara simbolis, Omed‑omedan berfungsi sebagai ajang pemurnian sosial setelah sunyi dan meditasi Hari Nyepi. Ciuman dan kebersamaan dianggap sebagai bentuk pengingat bahwa masyarakat Bali harus melanjutkan hidup dalam keberlanjutan hubungan sosial, dengan rasa hormat dan kasih sayang. Tradisi ini juga menjadi ajang pertemuan muda‑mudi serta media pelestarian budaya yang menyenangkan dan energik .
Kemeriahan Omed‑omedan kini makin menjadi daya tarik wisata budaya. Setiap tahunnya, ribuan pengunjung domestik maupun mancanegara datang untuk menyaksikan atau bahkan berpartisipasi langsung. Ritual ini juga menjadi simbol bahwa warisan spiritual Bali bisa hidup dalam bentuk modern yang inklusif dan bersahabat.
Dengan kombinasi ritual sakral, sosial, dan estetika yang santai, Omed‑omedan tampil bukan sekadar tradisi usang, melainkan salah satu bentuk budaya hidup yang mampu menjembatani generasi dan merangkul berbagai kalangan tanpa kehilangan akar spiritualnya.