Dodol, Manis Lembut Warisan Nusantara yang Tak Lekang Waktu

suarapena.id – Di tengah hiruk-pikuk kuliner modern yang terus berevolusi, dodol tetap bertahta sebagai salah satu ikon makanan tradisional Indonesia. Camilan kenyal-manis berbahan dasar ketan, santan, dan gula ini bukan sekadar penganan; ia adalah cerita panjang tentang budaya, ketekunan, dan rasa nusantara yang diwariskan lintas generasi. Dari pasar tradisional hingga oleh-oleh premium, dodol terus memikat lidah, bahkan kini diekspor hingga mancanegara.

Asal-Usul: Dari Ritual hingga Hidangan Sehari-hari

Dodol diyakini berasal dari masa kerajaan-kerajaan Nusantara, terutama di wilayah Jawa Barat, Betawi, dan Sumatra. Nama “dodol” sendiri konon berasal dari kata “dodolan” dalam bahasa Sunda, yang berarti “dijual-jual” karena sering diperdagangkan di pasar. Ada pula versi yang menghubungkannya dengan “dudul” (bahasa Jawa) yang artinya “mengaduk terus-menerus”—mencerminkan proses pembuatan yang memakan waktu hingga 8–12 jam.

Awalnya, dodol dibuat sebagai sesaji dalam upacara adat, seperti sedekah bumi atau pernikahan. Kini, ia menjadi simbol keramahan, terutama saat Lebaran, Imlek, atau acara keluarga. Varian regional pun beragam: dodol Garut (Jawa Barat) terkenal karena tekstur lembut dan aroma pandan; dodol Betawi kental dengan rasa nangka atau durian; sementara dodol Aceh sering dicampur pinang atau jahe.

Bahan dan Proses: Seni Mengaduk yang Butuh Kesabaran

Resep dasar dodol sederhana, tapi eksekusinya penuh tantangan. Bahan utama:

  • Tepung ketan (putih/hitam)
  • Santan kelapa
  • Gula merah/gula pasir
  • Garam secuil
  • Pewarna & perisa alami (pandan, nangka, cokelat, dll.)

Proses pembuatannya adalah ujian ketabahan:

  1. Mengaron tepung ketan hingga matang.
  2. Mencairkan gula dengan santan hingga mendidih.
  3. Mengaduk campuran di atas api kecil selama berjam-jam hingga mengental dan mengkilap. Satu kesalahan—api terlalu besar atau adukan kurang rata—bisa membuat dodol gosong atau bergerindil.

Di Garut, pengaduk dodol profesional disebut “ngadodol”, dan mereka bisa menghabiskan satu malam penuh untuk satu wajan besar. Kini, meski mesin mulai digunakan, dodol tradisional yang diaduk manual tetap dihargai lebih tinggi karena teksturnya lebih halus dan aroma santannya lebih kuat.

Varian Rasa: Dari Klasik hingga Inovasi

Dodol terus berevolusi. Beberapa varian populer:

Varian Ciri Khas Daerah Asal
Dodol Garut Lembut, manis sedang, aroma pandan Jawa Barat
Dodol Betawi Tebal, lengket, rasa nangka/durian Jakarta
Dodol Cina (Pontianak) Tipis, renyah, rasa wijen Kalimantan Barat
Dodol Tape Lembut, sedikit asam manis Jawa Tengah
Dodol Susu Creamy, modern Bandung
Dodol Keto (inovasi 2024) Rendah gula, tinggi serat Jakarta

Tren terkini adalah dodol fusion: dodol matcha, dodol kopi, bahkan dodol berlapis cokelat premium. UMKM seperti Dodol Picnic (Garut) dan Dodol Lembut Sari (Bekasi) kini menjual via e-commerce, bahkan diekspor ke Malaysia, Singapura, dan Belanda.

Sentra Produksi: Garut, Raja Dodol Indonesia

Garut dijuluki “Kota Dodol” karena lebih dari 300 UKM memproduksi 1.000 ton dodol per tahun. Desa-desa seperti Cikajang, Leles, dan Banyuresmi menjadi pusatnya. Setiap tahun, Festival Dodol Garut digelar untuk mempromosikan inovasi rasa dan kemasan. Pada 2025, festival ini menghadirkan Dodol Raksasa seberat 500 kg yang dibagikan gratis kepada pengunjung.

Nilai Gizi dan Tips Menikmati

Meski manis, dodol mengandung karbohidrat kompleks dari ketan, lemak sehat dari santan, dan serat (jika pakai ketan hitam). Namun, penderita diabetes disarankan membatasi konsumsi.

Tips menyantap:

  • Potong tipis, nikmati perlahan agar tidak terlalu lengket di gigi.
  • Padukan dengan teh tawar atau kopi hitam untuk menyeimbangkan manis.
  • Simpan di kulkas agar tahan hingga 3 bulan.

Dodol di Era Digital: Dari Warung ke Dunia

Kini, dodol tak lagi hanya oleh-oleh kampung. Brand seperti Dodol Tenjo (Bogor) dan Dodol Amalia (Tangerang) punya akun Instagram dengan puluhan ribu followers. Ada pula dodol subscription box—setiap bulan pelanggan menerima 3 varian baru.

Pemerintah pun mendukung: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memasukkan dodol dalam Wonderful Indonesia Culinary untuk dipromosikan di pameran internasional. Pada 2024, dodol Indonesia berhasil masuk pasar Uni Eropa dengan sertifikasi halal dan kemasan ramah lingkungan.

Dodol bukan sekadar makanan—ia adalah memori masa kecil, aroma dapur nenek, dan simbol kebersamaan. Di tengah gempuran makanan instan, dodol tetap bertahan karena rasa autentiknya yang tak tergantikan. Seperti kata Bu Neneng, pengrajin dodol di Garut:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *