suarapena.id – Di tengah gemerlapnya destinasi wisata Pulau Dewata, hadir kuliner sederhana tetapi sarat makna yaitu Laklak. Kue pipih ini terbuat dari tepung beras, santan, serta pewarna alami dari daun suji atau pandan sehingga menghasilkan warna hijau lembut yang menggugah selera. Setelah matang, laklak biasanya disajikan dengan taburan kelapa parut dan siraman gula aren cair yang manis‑legit—perpaduan tekstur kenyal tepung dengan keriput kelapa serta manis karamel dari gula aren menjadikannya unik.
Laklak bukan hanya sekadar camilan, namun bagian dari warisan kuliner Bali yang mencerminkan filosofi keseimbangan antara alam dan manusia. Penggunaan bahan lokal seperti daun suji, tepung beras, santan serta gula aren yang dihasilkan dari kelapa atau pohon aren menunjukkan bagaimana masyarakat setempat memanfaatkan lingkungan secara berkelanjutan. Hal ini memperkuat dimensi keahlian dan kepercayaan (expertise & trustworthiness) dalam kisah kuliner ini.
Meski keenakan‑nya sederhana, laklak sering ditemukan di warung‑warung tradisional atau pasar pagi di Bali dan menjadi favorit untuk sarapan atau kudapan santai sore hari. Karena ukurannya yang kecil dan ringan, banyak wisatawan menyukai laklak sebagai oleh‑oleh lokal yang autentik. Untuk menambah pengalaman, pengunjung bisa mencari laklak langsung di desa‑desa sekitar Gianyar atau Ubud, di mana proses pembuatannya masih dilakukan secara manual—dari mengukus adonan hingga menaburkan kelapa parut segar.
Bagi pencinta kuliner yang ingin mengeksplor lebih jauh, mencicipi laklak berarti merasakan satu lapis kecil budaya Bali yang autentik, bukan sekadar hidangan turis. Kue ini mengajak kita menyisir kembali jejak tradisi bersama dengan cita rasa manis yang terasa hangat dan ramah. Jadi, saat berkunjung ke Bali, jangan lewatkan untuk mencoba laklak; lebih dari sekadar kue, ini adalah bagian kecil dari cerita budaya yang patut dijaga dan dinikmati.
