The Chairman, Dari Layar Perak ke Meja Makan – Kisah Sebuah Nama yang Ikonik

suarapena.id – Dalam dunia hiburan, kuliner, dan budaya pop, nama “The Chairman” sering kali membangkitkan imajinasi yang beragam. Apakah itu petualangan mata-mata di era Perang Dingin, atau inovasi masakan Kanton yang memukau, istilah ini telah menjadi simbol dari ambisi, rahasia, dan keberanian. Artikel ini akan menyelami dua interpretasi utama dari “The Chairman”: film mata-mata klasik tahun 1969 yang dibintangi Gregory Peck, serta restoran revolusioner di Hong Kong yang mendominasi daftar World’s 50 Best Restaurants. Kedua entitas ini, meski berbeda era dan medium, sama-sama merepresentasikan “ketua” dalam arti yang lebih luas – pemimpin yang mengubah aturan permainan.

The Chairman (1969): Thriller Mata-Mata di Tengah Revolusi Budaya

Rilis pada tahun 1969, The Chairman (juga dikenal sebagai The Most Dangerous Man in the World) adalah film spy thriller yang disutradarai oleh J. Lee Thompson dan dibintangi aktor karismatik Gregory Peck. Berlatar selama Revolusi Budaya China, film ini mengadaptasi novel karya Jay Richard Kennedy dengan naskah oleh Ben Maddow. Ceritanya berpusat pada Profesor John Hathaway (Peck), seorang ilmuwan molekuler Amerika yang direkrut oleh pemerintah AS untuk misi rahasia: mencuri rumus enzim pertanian revolusioner yang dikembangkan oleh ilmuwan China. Enzim ini berpotensi mengubah dunia pertanian global, tapi kedua negara adidaya – AS dan China – sama-sama ingin mengklaimnya untuk keuntungan strategis.

Plot yang Penuh Ketegangan

Hathaway tiba di Hong Kong sebagai kedok, di mana ia bertemu dengan agen misterius dan menghadapi intrik dari pihak China. Yang membuat plot semakin mencekam adalah implan mikro di otaknya: sebuah alat transmiter yang memungkinkan CIA memantau setiap gerak-geriknya, termasuk percakapan pribadi. Namun, Hathaway tidak tahu bahwa alat itu juga berisi bahan peledak yang bisa diaktifkan dari jarak jauh jika misi gagal – termasuk saat ia bermain pingpong dengan Chairman Mao sendiri! Adegan ikonik ini, di mana Peck mendiskusikan filsafat dan realpolitik sambil memukul bola meja, menjadi sorotan film yang memadukan elemen aksi, drama, dan satir politik.

Film ini difilmkan sebagian di Hong Kong, tapi produksi terhenti karena protes komunis, sehingga banyak adegan interior dibuat di Pinewood Studios, Inggris, dan Wales. Musik latar karya Jerry Goldsmith menambah nuansa tegang, sementara chemistry antara Peck dan pemeran pendukung seperti Anne Heywood (sebagai agen ganda Ting Ling) memberikan sentuhan romansa yang rumit.

Resepsi dan Warisan

The Chairman menerima ulasan campuran. Roger Ebert menyebutnya “kering” dibandingkan film aksi lain Peck, mengkritik karisma Peck yang terlalu “mulia” untuk genre spy thriller. Namun, Rotten Tomatoes mencatatnya sebagai pandangan menarik dari perspektif Perang Dingin, dengan elemen historis seperti Revolusi Budaya yang membuatnya relevan hingga kini. Dengan rating IMDb 5.6/10, film ini tetap menjadi artefak budaya yang menyoroti ketakutan Barat terhadap kekuatan China pada 1960-an. Kini tersedia di platform streaming seperti Amazon Prime, The Chairman mengingatkan kita pada era di mana spionase bukan hanya fiksi, tapi juga cerminan geopolitik nyata.

The Chairman: Restoran yang Merevolusi Masakan Kanton

Pindah dari layar lebar ke dunia kuliner, “The Chairman” juga merujuk pada restoran ikonik di Central, Hong Kong, yang menduduki peringkat 19 di World’s 50 Best Restaurants 2025. Didirikan oleh Danny Yip – seorang mantan entrepreneur tech yang belajar masak di Australia – restoran ini bukan sekadar tempat makan, tapi manifesto kuliner yang “menulis ulang aturan masakan Kanton”. Bekerja sama dengan koki kepala Kwok Keung Tung, Yip menciptakan menu yang berakar pada sejarah China tapi inovatif sepenuhnya, tanpa gimmick Instagram atau teater berlebih – makanan adalah bintang utamanya.

Inovasi di Balik Hidangan Klasik

Restoran ini terkenal dengan hidangan seperti sapi ekor rebus dengan merica Sichuan, kepiting kukus bunga yang menjadi favorit abadi, dan camilan ringan seperti bunga mawar acar dengan akar teratai mentah yang renyah. Scallop lokal yang digoreng dengan lemon, dicampur mie beras dan daun bawang, atau sayur musiman tumis dengan saus XO, semuanya menonjolkan bahan segar dari pasar Hong Kong. Filosofi Yip: “Kami tidak mencoba menjadi sensasional; kami hanya ingin makanan berbicara.”

Terletak di lantai 3 The Wellington, 198 Wellington Street, restoran ini telah menjadi fenomena sejak dibuka, menarik pecinta kuliner global. Tidak seperti food truck “The Chairman” di San Francisco yang tutup pada 2025 (dikenal dengan bao kukus vegan dari resep “Little Red Cookbook”), versi Hong Kong ini tetap buka dan berkembang, membuktikan daya tahan konsepnya di tengah tren kuliner yang berubah cepat.

Dampak Budaya dan Kuliner

Dalam era di mana restoran sering kali bergantung pada visual, The Chairman Hong Kong menekankan autentisitas. Sebagai “fenomena yang tidak berusaha menjadi fenomena”, ia merepresentasikan gelombang baru masakan Asia yang menghormati akar sambil mendorong batas. Peringkatnya di daftar global 2025 menegaskan posisinya sebagai pemimpin – atau “chairman” – dalam revolusi kuliner Kanton.

Baik sebagai film yang mengeksplorasi intrik Perang Dingin maupun restoran yang mendefinisikan ulang warisan kuliner, “The Chairman” adalah tentang kepemimpinan yang tak terduga. Di bioskop, ia adalah metafor ketakutan dan ambisi global; di meja makan, ia adalah undangan untuk menghargai inovasi sederhana. Pada 13 Oktober 2025, di tengah dunia yang semakin terhubung, nama ini mengajak kita merefleksikan bagaimana seorang “ketua” bisa mengubah narasi – dari layar perak hingga piring panas. Jika Anda penggemar thriller klasik atau pencinta makanan, “The Chairman” layak dieksplorasi. Siapa tahu, mungkin Anda akan menemukan benang merah yang menghubungkan keduanya: keberanian untuk melanggar aturan demi yang lebih baik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *